Prang …!
Dilihatnya piring yang terjatuh saat dirinya mau menyediakan makanan untuk sang buah hati. Buah hatinya yang selama dua kali lebaran pergi merantau di luar kota. Kini, anak laki-laki satu-satunya itu pulang hendak memberi kabar pada sang ibu bahwa ia telah melabuhkan hatinya. Hatinya berlabuh pada seorang gadis yang ia kenal di tanah perantauan.
***
Tempat duduknya berdecit menahan goyangan kaki. Dibukanya kacamata yang mulai berembun dan disekanya keringat di dahi. Dia berjalan menuju ke arah ibunya dengan meremas-remas tisu.
“Ada apa, Bu?” suaranya tercekat di tenggorokan. Tidak ada jawaban.
Dia berdehem untuk membersihkan tenggorokan dan bertanya sekali lagi saat sudah cukup dekat dengan ibunya yang sedang membersihkan pecahan piring di lantai.
“Ada apa, Bu?” kali ini suaranya lebih lantang tetapi terdengar gemetar.
Sang ibu, Yasmin, berusaha menguasai diri, “Siapa namanya, Nak?”
Biru, langsung mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto sang gadis pujaan pada ibunya. Ragu-ragu sang ibu melihatnya. Ah, benar dugaanku selama ini, batin Yasmin.
Semua bermula ketika ia melihat foto seorang gadis dengan anaknya muncul di linimasa sosial medianya. Awalnya ia tak percaya akan kedekatan mereka, tetapi setelah dilihatnya linimasa sang gadis, ia bertambah yakin. Ada “sesuatu” di antara mereka. Gadis cantik yang merupakan anak dari mantan suaminya.
Yasmin berpisah dengan mantan suaminya itu sejak Biru masih dalam kandungan sehingga Biru tidak tahu kalo ayahnya saat ini bukan ayah kandungnya. Dia berpisah dengan mantan suaminya, Seno, karena diam-diam dia menjalin hubungan gelap dengan sahabatnya sendiri.
Hancur hatinya ketika Seno memilih hidup bersama sahabatnya, Rita, yang ternyata telah mengandung anak Seno. Lama saling tidak terdengar kabarnya, kini mereka tinggal di daerah Tanjung Pinang, tempat Seno dulu pernah bertugas. Hal tersebut diketahuinya dari sahabatnya yang lain yang juga dekat dengan Rita. Setelahnya, diam-diam Yasmin terus memantau perjalan hidup mantan suaminya itu bersama Rita. Kini, saat anak-anak mereka sudah makin dewasa, Yasmin pun tahu, Iris adalah anak dari Seno dan Rita.
“Putuskan dia sekarang juga, Biru, Ibu tak suka dengannya,” suaranya bergetar menahan kekalutan saat mengungkapkan permintaan itu kepada Biru.
“Apa maksudnya, Bu? Iris anak yang baik, Bu, dia sopan, supel, dan cerdas. Sejak pertama bertemu dengannya, aku sudah mencintainya.”
Kata-kata yang sungguh tidak mau didengarnya saat ini, “Pokoknya, ibu minta kau putuskan dia, sekarang juga.”
“Ibu!” suara Biru agak meninggi.
“Biru! Rendahkan suaramu saat berbicara pada ibumu,” ujar Banyu, suami Yasmin yang mendengar suara Biru yang meninggi saat dia kembali bekerja. Biru yang sekilas melihat ayahnya kembali menatap ibunya sambil menahan marah kemudian berlalu meninggalkan rumah.
“Biru!” Biru tidak menoleh atau menghentikan langkahnya seolah tidak mendengar teriakan ibunya.
“Ada apa ini, Yasmin?” tidak menjawab, Yasmin hanya bisa bersimpuh di lantai sambil menangis.
***
Iris resah menanti kabar dari Biru, separuh jiwanya, yang berjanji akan memberi kabar kapan ia akan mempertemukan dia dengan kedua orang tuanya. Namun, sudah seharian ini tak satu pun notifikasi berasal dari nomor ponselnya. Sudah beberapa kali Iris berusaha menghubunginya, tetapi usahanya sia-sia karena yang terdengar hanyalah suara mesin operator yang menjawab panggilannya.
Apa yang sedang terjadi? Apakah dia baik baik saja? Atau ada sesuatu yang terjadi sehingga ia enggan untuk menghubungiku?
Ahhh … Biru … please … jangan menghilang dariku sebelum kau menjelaskan apa pun padaku. Isak tangis yang sedari tadi ditahannya pun pecah, kesedihannya sudah tak terbendung lagi.
***
Keringat dingin di pelipis Biru mengalir bak air terjun. Napasnya tersengal sementara telinganya terasa sakit saat mendengar gaduh suara gemeretak gigi yang bersahutan dengan detak jantungnya sendiri.
Kalut, malam itu Biru berjalan menyusuri jalanan komplek, lupa pada motor vespa yang biasanya setia menemaninya ke mana pun karena terlalu terkejut dengan reaksi ibunya. Bertubi pertanyaan tak mau berhenti menghujani pikiran Biru yang terus mencoba memahami perasaan ibunya.
“Ya Allah, astaghfirullah, ini bukanlah akhir, pasti ada cara lain membujuk ibu,” gumannya dalam hati.
Bunyi getaran ponsel di saku kanan celananya seketika membuyarkan lamunannya, Iris di ujung telepon. Biru menekan tombol hijau, bersiap untuk menjawab tetapi berbalik seketika untuk melihat kilatan cahaya dari arah belakang punggungnya.
Tiba-tiba, Biru merasa seakan badannya ringan seperti bulu, melayang ke udara, matanya terasa basah … oleh darah.
Namun, sesaat tubuhnya terasa melayang, seketika itu juga dirinya tersentak. Napasnya tersengal, lagi-lagi mimpi yang sama berulang, mimpi seolah dia sedang mengalami kecelakaan.
Aahh, seandainya saja aku tidak pergi dari rumah sehingga ibu tidak pergi mencariku dan kecelakaan itu tidak terjadi. Rasa sesal kembali menggerogoti Biru, terutama saat ia mengingat alasan penolakan ibunya terhadap hubungannya dengan Iris dari Banyu, ayah tirinya.
Tangannya terus menggenggam erat jam tangan nilakandi kesayangan ibunya yang kini retak kacanya dan tidak lagi menyala dengan noda merah yang mengering di talinya. Sejak kejadian itu, tak pernah dia bisa tidur tanpa memegang peninggalan ibunya itu.
Seandainya saja waktu bisa kuputar agar ibu bisa kembali ke sisiku.
Aaahh, seandainya.
•••
Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Cerpen Keroyokan Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta.
Jakarta, 4 Juli 2020